MAKALAH FIQIH MAWARIS
METODE USUL AL-MASAIL DAN PEMBAGIANYA
Diajukan untuk melengkapi tugas makalah Mata Mawaris, diambil dari buku
referensi yang memuat tentang Metode Usul Masail dan Tatacara
pembagiannya.
Dosen
Pengampuh :
Drs. Deden Rohandi, M.Pd.
Oleh :
1.
Ahmad
Humaedi
JURUSAN HUKUM KELURGA ISLAM SEMESTER IV
FAKULTAS
HUKUM SYARI’AH ISLAM
STAI
AL-AZHARY CIANJUR
2019
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur
terlimpah kepada Allah SWT, dengan segala rahmat dan karunianya kami diberi
kekuatan untuk menyelesaikan tugas penulisan makalah ini. Shalawat serta
salam semoga tetap tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, keluraga, sahabat hingga
para pengikutnya sampai saat ini.
Tidak lupa kami ucapkan
terimakasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam penyelesaian tugas pembuatan makalah
ini. Makalah yang akan kami sampaikan ini adalah makalah yang berkenaan dengan
“Metode Usul Masail dan
Tatacara pembagiannya”,makalah merupakan
makalah pertama mata kuliah
Fiqih Mawaris yang
diambil dari buku dan Blog referensi .
Kami berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua terutama teman-teman
di lingkungan STAI Al- Azhary Cianjur.
Tidak ada gading yang
tak retak, begitu pula makalah ini tentunya memiliki banyak kekurangan, oleh
karena itu kami selaku penulis mengharapkan sumbangsih saran yang membangun
untuk kemajuan penulis dimasa yang akan datang.
Cianjur, 08 Maret 2019
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR………………………………………………………...
DAFTAR
ISI…………………………………………………………………..
|
I
II
|
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang…………………………………………………………...
B. Rumusan
Masalah………………………………………………………..
C. Tujuan……………………………………………………………………
|
1
1
1
|
BAB II PEMBAHASAN
A.
Pengertian Tashih ……………………………………..............................
B. Penghitungan dan
Pentashihan …………………......................................
C.
Cara Mentashih Pokok Masalah ……………………………………........
D.
Pembagian
Harta Peninggalan ……………..........................................
...
E.
Masalah Dinariyah ash-Shughra ……………………………………......
F.
Masalah Dinariyah al-Kubra ……………………………………............
|
2
3
7
11
15
16
|
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan………………………………………………………….
|
18
|
DAFTAR
PUSTAKA …………………………………………………………
|
19
|
BAB I
Pendahuluan
A. Latar Belakang.
Di negara kita Republik Indonesia ini, hukum waris yang berlaku secara
nasioal belum terbentuk, dan hingga kini ada 3 (tiga) macam hukum waris yang
berlaku dan diterima oleh masyarakat Indonesia, yakni hulum waris yang
berdasarkan hukum Islam, hukum Adat dan hukum Perdata Eropa (BW).
Dalam praktek kehidupan sehari-hari, persoalan waris sering kali menjadi
krusial yang terkadang memicu pertikaian dan menimbulkan keretakan hubungan
keluarga. Penyebab utamanya ternyata keserakahan dan ketamakan manusia, di
samping karena kekurang-tahuan pihak-pihak yang terkait mengenai hukum
pembagian waris.
Hukum waris
dalam Islam adalah bagian dari Syariat Islam yang sumbernya diambil dari al-Qur'an dan Hadist Rasulullah SAW,
kemudian para ahli hukum Islam, khususnya para mujtahid mentranformasikan
melalui berbagai formulasi waris sesuai dengan pendapatnya masing-masing dengan
tidak melanggar ketentuan
Al-Qur’an dan Hadits, diantaranya adalah masalah Tashih.
Pembagian warisan yang cocok
(sesuai) dengan jumlah bagian dari masing-masing ahli waris yang ada, tidak
diperlukan cara yang berbelit-belit atau memusingkan akan tetapi jika harta
warisan yang akan dibagikan tersebut kurang dari jumlah bagian yang mesti
diterima oleh ahli waris sesuai furudh atau jumlah bagian ashabul furudh melebihi jumlah pokok masalah, maka dalam hal ini
diperlukan pentashihan masalah atau pembulatan asal masalah guna untuk membantu
mempermudah pembagian harta warisan dimaksud.
Menurut syari’at, masalah waris
mewarisi bukanlah sesuatu yang muncul dengan sendirinya melainkan karena
beberapa sebab, seperti hubungan darah antara pewaris dengan ahli waris, karena
pernikahan (hubungan perkawinan) dan karena sebab memerdekakan hamba.
b. Pokok Permasalahan
Bagaimanakah mentashihkan
masalah jika furudh lebih besar dan lebih kecil dari keadaan harta warisan.
C.
Tinjauan Penulisan
Adapun yang menjadi tujuan dalam
penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui bagaimana menentukan
bahagian ahli waris apabila harta warisan tersebut kurang dari jumlah bahagian
yang semestinya diterima oleh setiap ahli waris atau jumlah bahagian ashhabul furudh melebihi jumlah pokok
masalah.
BAB II
Pembahasan
A. Pengertian Tashih
Tashih dalam bahasa Arab berarti 'menghilangkan penyakit'. Sedangkan menurut
ulama ilmu faraid berarti mewujudkan jumlah yang kurang dari bagian setiap ahli
waris tanpa pecahan dalam pembagiannya.
Apabila pokok masalah harta waris dalam suatu pembagian waris cocok
(sesuai) dengan jumlah bagian tiap-tiap ahli waris yang ada, maka kita tidak
perlu menggunakan cara-cara yang berbelit dan memusingkan. Namun, bila harta
waris tersebut kurang dari jumlah bagian yang mesti diterima setiap ahli waris,
atau jumlah bagian ashhabul furudh melebihi
jumlah pokok masalah, maka dalam hal ini memerlukan pentashihan pokok
masalahnya.
Agar kita dapat memahami dan menelusuri rincian pentashihan pokok masalah,
maka kita harus mengetahui nisbah-nya
(koneksi) dengan keempat istilah perhitungan, yaitu:
1. at-tamaatsul (kemiripan/kesamaan),
At-Tamaatsul dalam bahasa Arab berarti at-tasyabuh, yakni 'sama bentuknya'. Sedangkan
menurut ulama faraid berarti sama dalam jumlah atau nilai, yang satu tidak
lebih banyak atau lebih sedikit dari yang lain. Misalnya, angka tiga (3)
berarti sama dengan tiga (5), dan lima (5) sama dengan lima (5), dan
seterusnya.
2. at-tadaakhul (saling terkait/saling
bercampur),
At-Tadaakhul dalam bahasa Arab berasal dari kata dakhala, yakni 'masuk', lawan kata dari "keluar".
Sedangkan menurut ulama faraid adalah pembagian angka yang besar oleh angka
yang lebih kecil, sehingga dari pembagian itu tidak ada lagi angka atau jumlah
yang tersisa. Misalnya, angka delapan (8) dengan angka empat (4), angka delapan
belas (18) dengan angka enam (6), angka dua puluh tujuh (27) dengan angka
sembilan (9).
3. at-tawaafuq (saling bertautan),
At-Tawaafuq dalam bahasa Arab berarti 'bersatu'. Sedangkan menurut istilah ilmu faraid
ialah setiap dua angka yang dapat dibagi angka ketiga, sehingga menurut mereka
di antara kedua bilangan itu ada tadaakhul.
Misalnya, angka delapan (8) dengan enam (6) keduanya dapat dibagi oleh angka
dua (2). Angka duabelas (12) dengan angka tigapuluh (30) sama-sama dapat dibagi
oleh angka enam (6). Angka delapan (8) dengan duapuluh (20) sama-sama dapat
dibagi oleh angka empat (4), demikian seterusnya.
4. at-tabaayun (berbeda/saling berjauhan).
At-Tabaayun dalam bahasa Arab berarti tabaa'ud, yakni saling berjauhan atau
saling berbeda. Sedangkan menurut kalangan ulama ilmu faraid ialah setiap
bilangan yang satu dengan lainnya tidak dapat membagi, dan tidak pula dapat
dibagi oleh bilangan lain (ketiga). Misalnya angka tujuh (7) dengan angka empat
(4), angka delapan (8) dengan sebelas (11), angka lima (5) dengan angka
sembilan (9).
Untuk mengetahui secara tepat pengertian tabaayun, dapat dibandingkan pengertiannya dengan istilah lainnya.
Apabila angka yang besar dibagi angka yang lebih kecil, maka kedua bilangan itu
tadaakhul. Apabila angka yang besar
tidak dapat dibagi angka yang kecil tetapi dibagi angka yang lain maka kedua
bilangan itu ada tawaafuq. Sedangkan
apabila suatu angka tidak dapat dibagi oleh bilangan lain, maka disebut tabaayun. Tetapi apabila kedua bilangan
itu sama, maka di antara kedua bilangan tersebut adalah mutamaatsilan.
B. Penghitungan dan Pentashihan
Mengetahui pokok masalah merupakan suatu keharusan dalam mengkaji ilmu
faraid. Hal ini bertujuan agar dapat mengetahui secara pasti bagian setiap ahli
waris, hingga pembagiannya benar-benar adil, tanpa mengurangi atau melebihkan
hak masing-masing. Persoalan "pokok masalah" ini di kalangan ulama
faraid dikenal dengan istilah at-ta'shil,
yang berarti usaha untuk mengetahui pokok masalah. Dalam hal ini, yang perlu
diketahui adalah bagaimana dapat memperoleh angka pembagian hak setiap ahli
waris tanpa melalui pemecahan yang rumit. Karena itu, para ulama ilmu faraid
tidak mau menerima kecuali angka-angka yang jelas dan benar (maksudnya tanpa
menyertakan angka-angka pecahan).
Untuk mengetahui pokok masalah, terlebih dahulu perlu kita ketahui
siapa-siapa ahli warisnya. Artinya, harus mengetahui apakah ahli waris yang ada
semuanya hanya termasuk 'ashabah,
atau semuanya hanya dari ashhabul furudh,
atau gabungan antara 'ashabah dengan ashhabul furudh.
Apabila seluruh ahli waris yang ada semuanya dari 'ashabah, maka pokok masalahnya dihitung per kepala, jika semuanya
hanya dari laki-laki. Misalnya, seseorang wafat dan meninggalkan lima orang
anak laki-laki, maka pokok masalahnya dari lima. Atau seseorang wafat
meninggalkan sepuluh saudara kandung laki-laki, maka pokok masalahnya dari
sepuluh.
Bila ternyata ahli waris yang ada terdiri dari anak laki-laki dan
perempuan, maka satu anak laki-laki kita hitung dua kepala (hitungan), dan satu
wanita satu kepala. Hal ini diambil dari kaidah qur'aniyah: bagian anak laki-laki dua kali bagian anak perempuan.
Pokok masalahnya juga dihitung dari jumlah per kepala. Misalnya, seseorang
wafat dan hanya meninggalkan lima orang anak, dua laki-laki dan tiga perempuan.
Maka pokok masalahnya berarti tujuh (7). Contoh lain, bila mayit meninggalkan
lima anak perempuan dan tiga anak laki-laki, maka pokok masalahnya sebelas, dan
demikian seterusnya.
Kemudian, jika ternyata ahli waris yang ada semuanya dari ashhabul furudh yang sama, berarti
itulah pokok masalahnya. Misalnya, seseorang wafat dan meninggalkan seorang
suami dan saudara kandung perempuan. Maka pokok masalahnya dari dua (2). Sebab,
bagian suami setengah (1/2) dan bagian saudara kandung perempuan juga setengah
(1/2). Secara umum dapat dikatakan bahwa bila ahli waris semuanya sama,
misalnya masing-masing berhak mendapat seperenam (1/6), maka pokok masalahnya
dari enam (6). Bila semuanya berhak sepertiga (1/3), maka pokok masalahnya dari
tiga (3). Bila semuanya seperempat (1/4) atau seperdelapan (1/8), maka pokok
masalahnya dari empat atau delapan, begitu seterusnya.
Sedangkan jika para ahli waris yang ditinggalkan pewaris terdiri dari
banyak bagian yakni tidak dari satu jenis, misalnya ada yang berhak setengah,
seperenam, dan sebagainya, yang harus dilakukan adalah mengalikan dan mencampur
antara beberapa kedudukan, yakni antara angka-angka yang mutamatsilah (sama) atau yang mutadaakbilah
(saling berpadu), atau yang mutabaayinah
(saling berbeda).
Untuk memperjelas masalah ini, dapat dilihat kaidah yang telah diterapkan
oleh para ulama ilmu faraid. Kaidah ini sangat mudah sekaligus mempermudah
untuk memahami pokok masalah ketika ahli waris terdiri dari berbagai sahib fardh yang mempunyai bagian
berbeda-beda.
Para ulama faraid membagi kaidah tersebut menjadi 2 (dua) bagian:
1. bagian setengah (1/2), seperempat (1/4), dan seperdelapan (1/8).
2. bagian dua per tiga (2/3), sepertiga (1/3), dan seperenam (1/6).
Apabila para ashhabul furudh
hanya terdiri dari bagian yang pertama saja (yakni 1/2, 1/4, 1/8), berarti
pokok masalahnya dari angka yang paling besar. Misalnya, bila dalam suatu keadaan, ahli warisnya dari sahib fardh setengah (1/2) dan seperempat (1/4), maka pokok
masalahnya dari empat (4).
Contoh lain:
Bila dalam suatu keadaan ahli warisnya terdiri dari para sahib fardh setengah (1/2), seperempat
(1/4), dan seperdelapan (1/8) atau hanya seperempat dengan seperdelapan, maka
pokok masalahnya dari delapan (8). Begitu juga bila dalam suatu keadaan ahli
warisnya terdiri dari sahib fardh
sepertiga (1/3) dengan seperenam (1/6) atau dua per tiga (2/3) dengan seperenam
(1/6), maka pokok masalahnya dari enam (6). Sebab angka tiga merupakan bagian dari angka enam. Maka dalam hal ini
hendaklah diambil angka penyebut yang terbesar.
Akan tetapi, jika dalam suatu keadaan ahli warisnya bercampur antara sahib fardh kelompok pertama (1/2, 1/4,
dan 1/8) dengan kelompok kedua (2/3, 1/3, dan 1/6) diperlukan kaidah yang lain
untuk mengetahui pokok masalahnya. Kaidah yang dimaksud seperti tersebut di
bawah ini:
1. Apabila dalam suatu keadaan, sahib fardh setengah (1/2) yang
merupakan kelompok pertama bercampur dengan salah satu dari kelompok kedua,
atau semuanya, maka pokok masalahnya dari enam (6).
2. Apabila dalam suatu keadaan, sahib fardh seperempat (1/4) yang
merupakan kelompok pertama bercampur dengan seluruh kelompok kedua atau salah
satunya, maka pokok masalahnya dari dua belas (12).
3. Apabila dalam suatu keadaan, sahib fardh seperdelapan (1/8) yang
merupakan kelompok pertama bercampur dengan seluruh kelompok kedua, atau salah
satunya, maka pokok masalahnya dari dua puluh empat (24).
Untuk lebih memperjelas kaidah tersebut, dapat dilihat dalam beberapa
contoh dibawah ini:
seseorang wafat
dan meninggalkan suami, saudara laki-laki seibu, ibu, dan paman kandung.
Maka pembagiannya sebagai berikut:
suami mendapat
setengah (1/2), saudara laki-laki seibu seperenam (1/6), ibu sepertiga (1/3),
sedangkan paman sebagai 'ashabah, ia
akan mendapat sisa yang ada setelah ashhabul
furudh menerima bagian masing-masing. Bila tidak tersisa, maka ia tidak
berhak menerima harta waris.
Dari contoh tersebut tampak ada campuran antara kelompok pertama (yakni
1/2) dengan sepertiga (1/3) dan seperenam (1/6), yang merupakan kelompok kedua.
Berdasarkan kaidah yang ada, pokok masalah pada contoh tersebut dari enam.
Pokok
masalah dari enam (6)
Suami
setengah (1/2)
|
3
|
Saudara laki-laki seibu seperenam (1/6)
|
1
|
Ibu
sepertiga (1/3)
|
2
|
Paman
kandung, sebagai 'ashabah
|
0
|
Contoh lain:
seseorang
wafat dan meninggalkan istri, ibu, dua orang saudara laki-laki seibu, dan
seorang saudara laki-laki kandung.
Maka pembagiannya seperti berikut:
bagian istri
seperempat (1/4), ibu seperenam (1/6), dua saudara laki-laki seibu sepertiga
(1/3), dan saudara kandung laki-laki sebagai 'ashabah.
Pada contoh ini tampak ada campuran antara bagian seperempat (1/4) yang
termasuk kelompok pertama dengan seperenam (1/6) dan sepertiga (1/3). Maka
berdasarkan kaidah, pokok masalahnya dari dua belas (12). Angka tersebut
merupakan hasil perkalian antara empat (yang merupakan bagian istri) dengan
tiga (sebagai bagian kedua saudara laki-laki seibu).
Pokok
masalah dari dua belas (12)
Istri
seperempat (1/4))
|
3
|
Ibu
seperenam (1/6)
|
2
|
Dua
saudara laki-laki seibu sepertiga (1/3)
|
4
|
Saudara kandung laki-laki sebagai 'ashabah
(sisanya)
|
3
|
Contoh lain:
Seseorang
wafat dan meninggalkan istri, anak perempuan, cucu perempuan keturunan anak
laki-laki, ibu, dan saudara kandung laki-laki.
Maka pembagiannya sebagai berikut:
istri mendapat
seperdelapan (1/8), anak perempuan setengah (1/2), cucu perempuan keturunan
anak laki-laki mendapat seperenam (1/6) sebagai penyempurna dua per tiga (2/3),
dan bagian ibu seperenam (1/6). Sedangkan
saudara kandung laki-laki sebagai 'ashabah, karenanya ia mendapat sisa harta
waris bila ternyata masih tersisa.
Pada contoh ini tampak ada percampuran antara seperdelapan (1/8) sebagai
kelompok pertama dengan seperenam (1/6) sebagai kelompok kedua. Maka
berdasarkan kaidah yang ada, pokok masalah pada contoh ini dari dua pulah empat
(24).
Pokok
masalah dari 24
Bagian
istri seperdelapan (1/8)
|
berarti
|
3
|
Bagian
anak perempuan setengah (1/2)
|
berarti
|
12
|
Cucu perempuan dari anak laki-laki seperenam (1/6)
|
berarti
|
4
|
Bagian ibu
seperenam (1/6)
|
berarti
|
4
|
Saudara kandung laki-laki, sebagai 'ashabah
(sisa)
|
1
|
Angka dua
puluh empat (24) yang dijadikan sebagai pokok masalah timbul sebagai hasil
perkalian antara setengah dari enam (yakni 3) dengan delapan (6 : 2 x 8 = 24). Atau setengah dari delapan
(yakni empat) kali enam (6), (8 : 2 x 6 = 24). Hal seperti ini disebabkan
setengah dari dua angka tersebut (yakni enam dan delapan) ada selisih,
karenanya kita ambil setengah dari salah satu angka tadi, kemudian kita kalikan
dengan angka yang lain dengan sempurna. Begitulah seterusnya.
C. Cara Mentashih
Pokok Masalah
Setelah diketahui dengan baik makna-makna at-tamaatsul, attadaakhul,
at-tawaafuq, dan at-tabaayun,
maka yang perlu diketahui adalah kapan kita dapat atau memungkinkan untuk mentashih pokok masalah? Dan apa tujuannya,
Pada hakikatnya, kalangan ulama faraid tidak mau menerima permasalahan
pembagian waris kecuali dengan angka-angka yang pasti (maksudnya tanpa
pecahan). Hal ini dimaksudkan agar dapat mewujudkan keadilan yang optimal dalam
pembagian tersebut. Selain itu, untuk mewujudkan keadilan mereka berusaha
mengetahui jumlah bagian yang merupakan hak setiap ahli waris, sehingga tidak
mengurangi ataupun menambahkan. Hal ini merupakan satu perhatian yang sangat
baik dari para ulama faraid dalam usaha mereka mewujudkan kemaslahatan yang
menyeluruh, sebagaimana yang dikehendaki ad-Din
al-Islam.
Cara pentashihan yang biasa dilakukan oleh para ulama faraid adalah seperti
berikut:
Langkah pertama, melihat bagian setiap ahli waris dan jumlah per kepalanya.
Bila jumlah per kepala setelah dibagi cocok dan pas dengan jumlah bagian setiap
ahli waris yang berhak untuk menerimanya, maka inilah yang sempurna dan sangat
diharapkan. Namun, bila jumlah per kepalanya jauh lebih sedikit dari jumlah
bagian ahli waris yang ada jumlah pokok masalahnya sudah habis, tetapi ada ahli
waris yang belum mendapat bagian maka kita harus melihat apakah ada kecocokan
di antara kedua hal itu ataukah tidak. Bila ada kesesuaian antara bagian tiap
ahli waris dengan jumlah per kepalanya, maka setiap anak berhak mendapat bagian
sesuai dengan jumlah per kepalanya, dengan cara mengalikan jumlah per kepala
dengan pokok masalah atau dengan meng-'aul-kannya.
(Misalnya, empat anak perempuan, dan bagiannya 2/3 dari 6, berarti 4, maka ada
kesamaan. Sebab setiap anak mendapat bagian satu).
Adapun bila terjadi mubayaanah
(ada selisih) maka kalikan jumlah per kepalanya dengan pokok masalah atau
dengan meng-'aul-kannya, maka hasil
dari perkalian itu yang menjadi pokok masalah sebenamya. Inilah yang disebut
"pentashihan pokok masalah" oleh kalangan ulama faraid.
Sedangkan mengenai bagian untuk mengalikan pokok masalah atau meng-'aul-kan dengan tujuan mentashih pokok
masalah, oleh ulama faraid disebut dengan juz'us
sahm. Maksudnya, sebagai bagian khusus yang berkaitan dengan setiap bagian pada
pokok masalah.
Contoh amaliah tentang
pentashihan pokok masalah:
Seseorang
wafat dan meninggalkan empat anak perempuan, ibu, ayah, dan tiga cucu perempuan
keturunan anak laki-laki.
Maka
pembagiannya seperti berikut:
pokok masalahnya
dari enam (6).
Bagian keempat anak perempuan ialah dua per tiga (2/3) berarti empat (4)
bagian. Sang ayah seperenam berarti satu bagian, dan sang ibu juga seperenam
(1/6) berarti satu bagian. Sedangkan tiga cucu perempuan dari keturunan anak
laki-laki tidak mendapat bagian (mahjub karena anak pewaris lebih dari dua
orang).
Dalam contoh tersebut dapat dilihat jumlah anak perempuan ada empat (4),
dan bagian yang mereka peroleh juga empat. Karena itu tidak lagi memerlukan
pentashihan pokok masalah, sebab bagian yang mesti dibagikan kepada mereka
(keempat anak perempuan itu) tidak lagi memerlukan pecahan-pecahan. Sehingga dalam pembagiannya akan dengan pas dan mudah, setiap anak menerima
satu bagian.
Contoh lain yang at-tamaatsul.
Seseorang
wafat dan meninggalkan ibu, dua saudara perempuan seibu, dan empat saudara
kandung perempuan.
Maka pembagiannya seperti
berikut:
pokok masalahnya
dari enam (6), kemudian di-'aul-kan
menjadi tujuh (7). Bagian ibu seperenam (1/6) berarti satu bagian, kemudian
bagian kedua saudara perempuan seibu sepertiga (1/3) berarti dua bagian,
sedangkan bagian keempat saudara kandung perempuan adalah dua per tiga (2/3)
yang berarti empat (4) bagian.
Bila kita perhatikan dari contoh tersbut, dapat dilihat bahwa pokok
masalahnya tidak memerlukan pentashihan. Sebab jumlah per kepalanya sesuai
dengan jumlah yang dibagikan. Bagi kedua saudara perempuan seibu dua bagian,
maka tiap orang mendapat satu bagian. Bagi keempat saudara kandung perempuan
empat bagian, maka setiap orang mendapat satu bagian. Berarti kesesuaian
pembagian tersebut tidak memerlukan pentashihan pokok masalah. Dengan demikian,
bahwa dari contoh masalah tersebut cenderung (ber nisbat) pada at-tamaatsul.
Contoh
masalah yang at-tawaafuq.
Seseorang wafat dan meninggalkan delapan (8) anak perempuan, ibu, dan paman
kandung.
Maka pembagiannya seperti berikut:
pokok masalahuya dari enam (6).
Bagian kedelapan anak perempuan dua per tiga (2/3) berarti empat (4)
bagian, ibu seperenam (1/6) berarti satu bagian, dan sisanya (satu bagian)
adalah bagian paman kandung sebagai 'ashabah.
Dalam contoh di atas ada at-tawaafuq
antara jumlah per kepala anak perempuan dengan jumlah bagian yang mereka
peroleh, yaitu dua (2). Angka dua itulah yang menurut istilah ulama faraid
sebagai bagian dari bagian juz'us sahm
kemudian bagian dari bagian itu dikalikan dengan pokok masalah, yakni angka
enam (6). Maka 2 x 6 = 12. Itulah tashih pokok masalah.
Contoh lain:
Seseorang wafat dan meninggalkan suami, enam saudara kandung peremp uan, dan dua
orang saudara laki-laki seibu.
Maka pembagiannya seperti
berikut:
pokok masalahnya
dari enam (6), kemudian di-'aul-kan
menjadi sembilan (9). Bagian suami setengah (1/2) berarti tiga bagian,
sedangkan bagian keenam saudara kandung perempuan dua per tiga (2/3), berarti
empat bagian, dan bagian kedua saudara laki-laki seibu sepertiga (1/3), berarti
dua bagian.
Dalam contoh di atas ada tawaafuq
antara jumlah bagian yang diterima para saudara kandung perempuan dengan jumlah
per kepala mereka, yaitu dua (2). Kemudian kita ambil separo jumlah per kepala
mereka, berarti tiga (3), dan kita kalikan dengan pokok masalah setelah di-'aul-kan yakni angka sembilan (9),
berarti 3 x 9 = 27. Hasil dari perkalian itulah yang akhirnya menjadi
pentashihan pokok masalah. Setelah pentashihan, maka pembagiannya seperti
berikut: suami mendapat sembilan bagian (9), keenam saudara kandung perempuan
mendapat dua belas bagian, dan kedua saudara laki-laki seibu mendapat enam
bagian (9 + 12 + 6 = 27).
Contoh lain:
seseorang
wafat dan meninggalkan suami, anak perempuan, tiga cucu perempuan dari
keturunan anak laki-laki, dan saudara kandung laki-laki.
Maka pembagiannya seperti berikut:
pokok
masalahnya dari 12.
Bagian suami
1/4 berarti tiga (3) bagian, bagian anak perempuan 1/2 berarti enam (6) bagian,
dan bagian cucu perempuan keturunan anak laki-laki 1/6 sebagai penyempurna 2/3
berarti 2 bagian, dan bagian saudara kandung laki-laki satu bagian (sisanya)
sebagai 'ashabah bin nafsihi.
3
|
||
12
|
36
|
|
Suami ¼
|
3
|
9
|
Anak
perempuan ½
|
6
|
18
|
Tiga cucu
perempuan keturunan anak laki-laki 1/6
|
2
|
6
|
Saudara kandung laki-laki ('ashabah)
|
1
|
3
|
Berdasarkan
tabel tersebut dapat dilihat antara bagian cucu perempuan keturunan anak
laki-laki dengan jumlah per kepala mereka (yakni 2 dengan 3) ada tabaayun (perbedaan), karenanya kita
kalikan angka 3 dengan pokok masalahnya, yakni 3 x 12 = 36, maka angka 36 itu
berarti pokok masalah hasil pentashihan.
Contoh lain:
Seseorang
wafat dan meninggalkan istri, lima anak perempuan, ayah, ibu, dan saudara
kandung laki-laki.
Maka bagian masing-masing seperti berikut:
pokok masalahnya
dari 24, kemudian di-'aul-kan menjadi
27.
Bagian istri 1/8 = 3, kelima anak perempuan mendapat bagian 2/3 yang
berarti 16, ayah memperoleh 1/6 berarti 4, dan ibu mendapat 1/6 yang berarti 4,
sedangkan bagian saudara kandung laki-laki mahjub
(terhalang).
5
|
||
24
|
27
|
135
|
Istri 1/8
|
3
|
15
|
Lima anak
perempuan 2/3
|
16
|
80
|
Ayah 1/6
|
4
|
20
|
Ibu 1/6
|
4
|
20
|
Saudara kandung laki-laki (mahjub)
|
-
|
-
|
Dalam tabel
tersebut dapat dilihat bahwa bagian kelima anak perempuan tidak bisa dibagi
oleh jumlah per kepala mereka. Karenanya di antara keduanya ada tabaayun (perbedaan). Kemudian kita
kalikan pokok masalahnya setelah di-'aul-kan
(yakni 27) dengan jumlah per kepala mereka, yakni 27 x 5 = 135. Angka itu
merupakan pokok masalah setelah pentashihan. Dan angka lima (5) itulah yang
dinamakan juz'us sahm.
Contoh lain:
seorang wafat
dan meninggalkan tiga orang istri, tujuh anak perempuan, dua orang nenek, empat
saudara kandung laki-laki, dan saudara laki-laki seibu.
Maka
pembagiannya seperti berikut:
Pokok masalahnya dari 24.
Ketiga istri mendapat 1/8 = 3. Tujuh anak perempuan mendapat 2/3-nya = 16,
kedua nenek 1/6-nya = 4, dan empat saudara kandung laki-laki (sisanya) yaitu 1 sebagai 'ashabah, sedangkan saudara seibu mahjub.
28
|
||
24
|
672
|
|
3 istri
bagiannya 1/8
|
3
|
84
|
7 anak
perempuan 2/3
|
16
|
448
|
2 orang
nenek 1/6
|
4
|
112
|
saudara kandung laki-laki ('ashabah)
|
1
|
28
|
Saudara
laki-lah seibu (mahjub
|
-
|
-
|
Dalam tabel
tersebut dapat dilihat bahwa bagian anak perempuan (16) dengan jumlah per
kepala mereka (7) ada perbedaan (tabaayun),
begitu juga dengan bagian keempat saudara kandung yang hanya satu bagian, dan
jumlah per kepala mereka ada perbedaan (tabaayun).
Untuk mentashih pokok masalah dari contoh ini, kita kalikan jumlah per kepala
anak perempuan (yakni 7) dengan jumlah per kepala saudara kandung (yakni 4),
berarti 7 x 4 = 28. Angka tersebut (yakni 28) merupakan juz'us sahm. Kemudian juz'us
sahm tersebut kita kalikan dengan pokok masalahnya (28 x 24 = 672) hasilnya
itulah yang menjadi pokok masalah setelah pentashihan.
D. Pembagian Harta Peninggalan
At-tarikah (peninggalan) dalam bahasa Arab bermakna seluruh jenis kepemilikan yang
ditinggalkan pewaris, baik berupa harta, benda, atau tanah. Semua peninggalan
itulah yang harus dibagikan kepada ahli waris yang ada sesuai dengan hak bagian
yang harus mereka terima.
Untuk mengetahui pembagian harta waris kepada setiap ahlinya ada beberapa
cara yang harus ditempuh, namun yang paling masyhur di kalangan ulama faraid
ada dua dalam hal yang berkenaan dengan
harta yang dapat ditransfer.
1. Cara pertama: harus ketahui nilai (harga) setiap bagiannya,
kemudian kita kalikan dengan jumlah bagian tiap-tiap ahli waris. Maka hasilnya
merupakan bagian masing-masing ahli waris.
2. Cara kedua: kita ketahui terlebih
dahulu bagian setiap ahli waris secara menyeluruh. Hal ini kita lakukan dengan
cara mengalikan bagian tiap-tiap ahli waris dengan jumlah (nilai) harta
peninggalan yang ada, kemudian kita bagi dengan angka pokok masalahnya atau
tashihnya. Maka hasilnya merupakan bagian dari masing-masing ahli waris.
Ad.1. Contoh Cara Pertama:
Seseorang wafat dan meninggalkan istri, anak perempuan, ayah, dan ibu.
Sedangkan harta peninggalannya sebanyak 480 dinar, maka pembagiannya seperti
berikut:
Pokok
masalahnya dari 24, istri mendapatkan 1/8 yang berarti 3 bagian, anak perempuan
1/2 berarti 12 bagian, ibu mendapatkan 1/6 berarti 4 bagian, sedangkan sisanya
(yakni 5 bagian) merupakan hak ayah sebagai 'ashabah.
Adapun nilai
(harga) per bagiannya didapat dari hasil pembagi harta waris yang ada (480
dinar) dibagi pokok masalah (24), berarti 480: 24 = 20 dinar adalah harga per
bagian.
Jadi, bagian istri 3 bagian x
20 dinar = 60 dinar
Anak
perempuan 12 bagian x 20 dinar = 240 dinar
Ibu 4 bagian x
20 dinar = 80 dinar
Ayah 5 bagian
x 20 dinar = 100 dinar
Total
= 480 dinar
Contoh lain:
seseorang wafat
dan meninggalkan dua saudara kandung perempuan, ibu, suami, cucu perempuan
keturunan anak laki-laki. Sedangkan harta waris yang ada sebanyak 960 dinar.
Maka pembagiannya seperti
berikut:
pokok masalahnya
dari 12 kemudian di-tashikkan-kan
menjadi 24.
Cucu perempuan mendapatkan 1/2 yang berarti 12 bagian, suami mendapatkan
1/4 yang berarti 6 bagian, dan ibu memperoleh 1/6 yang berarti 4 bagian.
Sedangkan sisanya (dua bagian) untuk dua saudara kandung perempuan sebagai 'ashabah ma'al ghair.
2
|
|||
12
|
24
|
||
24 Cucu
perempuan keturunan anak laki-laki
|
1/2
|
6
|
12
|
Suami ¼
|
1/4
|
3
|
6
|
Ibu 1/6
|
1/6
|
2
|
4
|
2 saudara
perempuan kandung ('ashabah ma'al ghair)
|
1
|
2
|
Adapun nilai per bagian; 960 dinar: 24 = 40 dinar. Jadi, bagian
masing-masing ahli waris:
Jadi, Cucu pr. keturunan anak laki-laki
12 x 40 dinar = 480 dinar
Suami 6 x 40 dinar = 240 dinar
Ibu 4 x 40 dinar = 160 dinar
Dua saudara
kandung perempuan 2 x 40 dinar = 80 dinar
Total = 960 dinar
Contoh lain:
seseorang wafat dan meninggalkan empat anak perempuan, dua anak laki-laki,
ayah, ibu, dan tiga saudara kandung laki-laki, dan harta peninggalannya 3.000
dinar.
Maka pembagiannya seperti berikut:
pokok masalahnya dari 6 kemudian ditashih menjadi 12.
Sang ayah mendapatkan 1/6 berarti 2 bagian, ibu mendapatkan 1/6 berarti 2
bagian, dan sisanya dibagikan kepada enam (6) anak, dengan ketentuan bagian
laki-laki dua kali lipat bagian perempuan, berarti bagian anak perempuan 4
bagian (masing-masing satu bagian), sedangkan bagian anak laki-laki juga 4
bagian (masing-masing 2 bagian), sedangkan saudara kandung laki-laki mahjub.
2
|
|||
6
|
12
|
||
Empat anak
perempuan
|
4
|
4
|
|
Dua anak
laki-laki
|
3
|
4
|
|
Ayah
|
1/6
|
1
|
2
|
Ibu
|
1/6
|
1
|
2
|
Tiga saudara kandung laki-laki (mahjub)
|
-
|
-
|
Adapun nilai per bagiannya adalah 3.000:12 = 250
dinar
Jadi, bagian 4 anak perempuan 4 x
250 dinar = 1.000 dinar
2 anak
laki-laki 4 x 250 dinar = 1.000 dinar
Ibu 2 x 250 dinar = 500 dinar
Ayah 2 x 250 dinar = 500 dinar
Total
= 3.000 dinar
Contoh lain:
seseorang wafat
dan meninggalkan suami, saudara kandung perempuan, dua saudara laki-laki seibu,
dan nenek. Sedangkan harta peninggalan
seluruhnya 9.900 dinar.
Maka pembagiannya seperti
berikut:
pokok masalahnya dari 6 kemudian di-'aul-kan
(dinaikkan) menjadi 9.
Suami mendapat 1/2 yang berarti 3, saudara kandung perempuan 1/2 berarti 3,
dua saudara laki-laki seibu memperoleh 1/3 berarti 2, sedangan nenek mendapat
1/6 berarti satu (1).
6
|
9
|
||
Suami
|
½
|
3
|
|
Saudara
kandung perempuan
|
½
|
3
|
|
Saudara laki-laki
seibu
|
1/3
|
2
|
|
Nenek
|
1/6
|
1
|
Adapun nilai per bagiannya adalah 9.900: 9 = 1.100
dinar
Jadi, Suami 3 X 1.100 dinar = 3.300 dinar
Saudara
perempuan kandung 3 X 1.100 dinar = 3.300 dinar
Dua saudara
laki-laki seibu 2 X 1.100 dinar = 2.200 dinar
Nenek 1 X 1.100 dinar = 2.200 dinar
Total = 9.000 dinar
Contoh lain:
Bila seseorang wafat dan meninggalkan suami, ibu, dua anak perempuan, 3
cucu perempuan keturunan anak laki-laki, satu cucu laki-laki dari keturunan
anak laki-laki, sedangkan harta yang ditinggalkan sejumlah 585 dinar,
maka pembagiannya seperti berikut:
Pokok masalahnya dari 12 kemudian
di-'aul-kan menjadi 13.
Suami mendapatkan 1/4 (berarti 3 bagian), ibu mendapatkan 1/6 (berarti 2
bagian), dan dua anak perempuan 2/3 (berarti 8 bagian).
Sedangkan kedudukan para cucu dalam hal ini sebagai 'ashabah, sehingga mereka tidak memperoleh bagian karena harta
waris telah habis dibagikan kepada ashhabul
furudh.
12
|
13
|
|
Suami
|
1/4
|
3
|
Ibu
|
1/6
|
2
|
Dua anak
perempuan
|
2/3
|
8
|
Tiga cucu perempuan
Dua cucu perempuan |
'ashabah
|
-
|
Jadi, Suami 3 x 585:13 dinar = 135
dinar
Ibu 2 x 585:13 dinar = 90 dinar
Dua anak perempuan 8 x 585:13 dinar = 360
dinar
Total
= 585 dinar
Contoh lain:
seseorang wafat
dan meninggalkan dua saudara kandung, cucu perempuan keturunan anak laki-laki,
ibu, suami, sedangkan harta warisnya berjumlah 240 dinar.
Maka pembagiannya seperti
berikut:
pokok masalahnya
dari 12 kemudian ditashih menjadi 24.
cucu perempuan
keturunan anak laki-laki mendapatkan 1/2 (berarti 12 bagian), ibu mendapatkan
1/6 (berarti 4 bagian), suami mendapatkan 1/4 (berarti 6 bagian), dan dua
saudara kandung 2 bagian sebagai 'ashabah.
12
|
24
|
||
Cucu pr. ket. anak laki-laki
|
1/2
|
6
|
12
|
Ibu
|
1/6
|
2
|
4
|
Suami
|
1/4
|
3
|
6
|
Jadi, Cucu pr. ket. anak laki-laki 12 x 240:24 dinar = 120 dinar
Ibu 4 x 240:24 dinar = 40 dinar
Suami 6 x 240:24 dinar = 60 dinar
Dua saudara
kandung ('ashabah) 2 x 240:24 dinar = 20 dinar
Total = 240 dinar
Contoh lain:
seseorang wafat
dan meninggalkan ibu, dua saudara kandung perempuan, saudara perempuan seayah,
saudara laki-laki seayah, dan cucu perempuan keturunan anak laki-laki. Sedangkan
harta peninggalan sebanyak 1.500 dinar.
Maka pembagiannya seperti berikut:
pokok
masalahnya dari 6.
Ibu
mendapatkan 1/6 (berarti satu bagian), cucu perempuan 1/2 (berarti 3 bagian),
dan sisanya dua
(2) bagian menjadi
hak kedua saudara
perempuan kandung
sebagai 'ashabah.
Sedangkan ahli waris yang lain ter- mahjub.
6
|
||
Ibu
|
1/6
|
1
|
Cucu pr.
ket. anak laki-laki
|
1/2
|
3
|
Dua
saudara kandung pr. ('ashabah)
|
2
|
|
Saudara
perempuan seayah,
Dua saudara laki-laki seayah (mahjub) |
-
|
e. Masalah Dinariyah
ash-Shughra
Ada 2 (dua)
masalah yang dikenal oleh kalangan ulama faraid, yakni istilah ad-dinariyah ash-shughra dan ad-dinariyah al-kubra.
Ad-dinariyah ash-shughra memiliki
pengertian seluruh ahli warisnya terdiri atas kaum wanita, dan setiap ahli
waris hanya menerima satu dinar.
Contoh masalahnya:
Seseorang
wafat dan meninggalkan tiga (3) orang istri, dua (2) orang nenek, delapan (8)
saudara perempuan seayah, dan empat (4) saudara perempuan seibu. Harta peninggalannya: 17 dinar.
Adapun pembagiannya seperti berikut:
pokok masalahnya dari 12 kemudian di-'aul-kan
menjadi 17.
Tiga orang istri mendapatkan 1/4 (berarti 3 bagian), dua orang nenek
mendapatkan 1/6 (berarti 2 bagian), kedelapan saudara perempuan seayah
mendapatkan 2/3 (berarti 8 bagian), sedangkan keempat saudara perempuan seibu
mendapatkan 1/3 (berarti 4 bagian). Jumlah harta peninggalannya ada 17 dinar,
jumlah bagian seluruh ahli warisnya pun 17, dengan demikian masing-masing
mendapat satu dinar. Maka kasus seperti ini disebut ad-dinariyah ash-shughra.
12
|
17
|
||
Ke-3 istri
|
1/4
|
3
|
masing-masing
1 bagian = 1 dinar
|
Kedua
nenek
|
1/6
|
2
|
masing-masing
1 bagian = 1 dinar
|
Ke-8 sdr.
pr. seayah
|
2/3
|
8
|
masing-masing
1 bagian = 1 dinar
|
Ke-4 sdr.
pr. seibu
|
1/3
|
4
|
masing-masing
1 bagian = 1 dinar
|
F. Masalah Dinariyah al-Kubra
Adapun
masalah ad-dinariyah al-kubra
memiliki pengertian bahwa ahli waris yang ada sebagian terdiri dari ashhabul furudh dan sebagian lagi dari
'ashabah. Masing-masing ahli waris di antara mereka ada yang hanya mendapatkan
bagian satu (1) dinar, sebagian ada yang mendapatkan dua (2) dinar, dan
sebagian lagi ada yang mendapatkan lebih dari itu. Hal seperti ini di kalangan ulama faraid disebut ad-dinariyah al-kubra.
Contoh masalah ini sebagai
berikut:
Seseorang wafat meninggalkan istri, ibu, dua anak perempuan, dua belas
saudara kandung laki-laki, dan seorang saudara kandung perempuan. Sedangkan
harta peninggalannya 600 dinar.
Maka pembagiannya seperti
berikut:
pokok masalahnya
dari 24 kemudian setelah ditashih menjadi 600.
Istri mendapatkan 1/8 (berarti 3 bagian), ibu mendapatkan 1/6 (berarti 4
bagian), kedua anak perempuan memperoleh 2/3 (16 bagian), dan sisanya satu (1)
bagian merupakan bagian ke-12 saudara kandung laki-laki dan seorang saudara
kandung perempuan sebagai 'ashabah.
Jadi, bagian Istri 3 x 600:24 dinar = 75 dinar
Ibu 4 x 600:24 dinar = 100 dinar
Kedua anak perempuan 16 x 600:24 dinar = 400 dinar
Total =
575 dinar
Sedangkan ke-12 saudara kandung laki-laki dan seorang saudara kandung
perempuan mendapat sisanya, yakni 25 dinar sebagai 'ashabah, dengan ketentuan bagian anak laki-laki dua kali lipat
bagian perempuan. Dengan demikian, yang 24 dinar dibagikan kepada ke-12 saudara
kandung laki-laki dan masing-masing mendapat dua (2) dinar, dan yang satu (1)
dinar bagian saudara kandung perempuan.
25
|
|||
24
|
600
|
||
Istri
|
1/8
|
3
|
75
|
Ibu
|
1/6
|
4
|
100
|
Kedua anak
perempuan
|
2/3
|
16
|
100
|
12 saudara kandung laki-laki
1 saudara kandung perempuan ('ashabah) |
1
|
24
1 |
Masalah ad-dinariyah al-kubra ini pernah terjadi
pada zaman al-Qadhi Syuraih (seseorang mengajukan masalah kepadanya). Akhirnya Syuraih memvonis dengan memberikan hak saudara kandung perempuan
pewaris hanya satu (1) dinar. Tetapi, wanita tersebut kemudian mengadukan hal
itu kepada Imam Ali bin Abi Thalib r.a. yang menyebutkan bahwa Syuraih telah
menzhaliminya, mengurangi hak warisnya hingga memberinya satu dinar dari
peninggalan saudaranya yang 600 dinar itu.
Kendatipun wanita tersebut tidak menyebutkan seluruh ahli waris yang berhak
menerima warisan, namun dengan ketajaman dan keluasan ilmunya, Ali bin Abi
Thalib bertanya, "Barangkali saudaramu yang wafat itu meninggalkan istri,
dua anak perempuan, ibu, 12 saudara kandung laki-laki, dan kemudian
engkau?" Wanita tersebut menjawab, "Ya, benar." Ali berkata,
"Itulah hakmu tidak lebih dan tidak kurang."
Kemudian Ali bin Abi Thalib r.a. memberitahukan kepada wanita tersebut
bahwa hakim Syuraih telah berlaku adil dan benar dalam memvonis perkara yang
diajukannya.
BAB III
kesimpulan
Sistem faraid dalam Islam memberi
peluang kepada para ahli waris untuk membagi warisan tanpa harus mengikuti
detail pembagian yang telah ditetapkan oleh Al-Qur’an dan Hadits. Atas dasar
kesepakatan para ahli waris, besaran bagian masing-masing ahli waris kemudian
bisa berubah sesuai kesepakatan para ahli waris tersebut. Atas dasar kesadaran
penuh dan keikhlasan setiap ahli waris, satu ahli waris bahkan bisa saja
sepenuhnya menyerahkan haknya untuk diberika kepada ahli waris yang lain atas
dasar pertimbanganpertimbangan obyektif dan rasional.
Pada
hakikatnya, kalangan ulama faraid tidak mau menerima permasalahan pembagian
waris kecuali dengan angka-angka yang pasti (maksudnya tanpa pecahan). Hal ini dimaksudkan agar dapat mewujudkan keadilan yang optimal dalam
pembagian tersebut. Selain itu, untuk mewujudkan keadilan mereka berusaha
mengetahui jumlah bagian yang merupakan hak setiap ahli waris, sehingga tidak
mengurangi ataupun menambahkan. Hal ini merupakan satu perhatian yang sangat
baik dari para ulama faraid dalam usaha mereka mewujudkan kemaslahatan yang
menyeluruh, sebagaimana yang dikehendaki ad-Din
al-Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Maman Abd Djalal, Hukum Mawaris,
Bandung, CV Pustaka Setia, 2006
Mardalis, Metode Penelitian: Suatu
Pendekatan Proposal, Jakarta, Bumi Aksara, 1995 Muhammad
Ali Ash-Shabuni, Pembagian Waris Menurut Islam, Jakarta, Gema Insani Pres, 1995
Muhammad Jawad Mughniyah, Fikih Lima
Mahzab, Jakarta, Lentera, 2008 Muhammad
Thoha Abu Ela Khalifah, Hukum Waris, Bandung, Tiga Serangkai, 2007
Suhrawardi K. Lubis, Hukum Kewarisan Islam (Lengkap
dan Praktis), Jakarta, Sinar Grafika, 1995
Teungku Muhammad Hasbi Ashidieqy, Fiqh Mawaris, Semarang, Pustaka Putra, 1999
Komentar
Posting Komentar