Oleh
Oleh: Luluatul Mabruroh*
Munculnya berbagai sekte dan berbagai
macam ajaran baru membuat orisinalitas syari’at menjadi rancu dan tidak
jelas menyebabkan masyarakat menjadi kebingungan dan phobia terhadap
hal-hal baru yang muncul. Pentahdziran dan pembid’ahan kerap kali
terjadi tanpa tahu definisi dan batasan dan ukuran bid’ah yang
sesungguhnya. Dalam hal ini penting untuk memahami definisi dan ukuran
suatu perkara sampai dimana bisa dikategorikan sebagai bid’ah atau
bukan, serta perkara yang bisa dikatakan sebagai bid’ah hasanah dan
bid’ah sayyiah.
Adalah seorang ulama terkemuka Indonesia
dan termasuk pencetus berdirinya Jam’iyah Nahdlatul Ulama
Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari dalam kitabnya, Risalah ahlussunnah wal-Jama’ah
menjelaskan bahwa, Lafadz “al Bid’ah” mengutip perkataan Syaikh Zaruq
dalam kitab “Iddati al-Murid”, secara terminologi syara’ berarti
“Menciptakan hal perkara baru dalam agama seolah-olah ia merupakan
bagian dari urusan agama, padahal sebenarnya bukan, baik dalam tataran
wacana, penggambaran maupun dalam hakikatnya. Hal ini didasarkan pada
sabda Nabi SAW:
من احدث فى امرنا هذا ما ليس مـــــنه فهو رد
“Barang siapa menciptakan perkara
baru didalam urusanku {yakni masalah agama}, padahal bukan merupakan
bagian daripadanya, maka hal itu ditolak”
Dan cuplikan sabda Rasulullah SAW:
وكل محـــــدثة بدعة
“Dan segala bentuk perkara yang baru adalah bid’ah”
Para ulama menjelaskan tentang esensi dari makna dua hadis tersebut di atas yakni, perkara baru yang menjadi bid’ah adalah
segala sesuatu yang dijadikan rujukan bagi perubahan suatu hukum dengan
mengukuhkan sesuatu yang sebenarnya bukan merupakan ibadah tetapi
diyakini sebagai konsepsi ibadah. Jadi bukanlah segala bentuk
pembaharuan yang bersifat umum karena kadang-kadang bisa jadi perkara
baru itu berlandaskan dasar-dasar syari’ah secara asal sehingga ia
menjadi bagian dari syari’at itu sendiri, atau berlandaskan Furu’ al-Syari’ah sehingga ia dapat dikiaskan atau dianalogkan kepada syari’at.
Syaikh Zaruq lantas membuat tiga ukuran (mizan) dalam hal ini, yakni: pertama,
harus dilihat keberadaan perkara baru tersebut, jika di dalamnya
termasuk dalam koridor hukum syari’at dengan dukungan dalil atau dasar
yang mengukuhkannya, maka bukanlah dinamakan bid’ah. Namun bila
didalamnya terdapat beberapa dalil yang tampaknya kontradiktif sehingga
terjadi kesamaran, dan muncul beberapa interpretasi dalam beberapa
pandangannya, maka beberapa pandangan itu harus ditelaah ulang, mana
yang paling unggul untuk dijadikan rujukan dasar.
Pertimbangan kedua adalah dengan melihat beberapa kaidah-kaidah perundangan yang telah dibekukan oleh para imam mujtahid dan pengamalan para Salafuna al-Shalih
sebagai tuntunan “Thariqah as Sunnah”, jika ternyata perkara itu
bertentangan dengan dasar-dasar di atas melalui beberapa pertimbangan,
maka jelas tidak dapat diterima. Namun bila terjadi kecocokan dalam
pandangan kaidah-kaidah perundang-undangan maka dapatlah diterima,
sekalipun di kalangan para imam mujtahid sendiri terjadi perbedaan
pendapat baik secara furu’ maupun secara asal.
“Segala sesuatu itu mengikuti pada asalnya berikut dalilnya”, sehingga apapun yang diamalkan oleh para Salafuna as Shalih
dengan berlandaskan pada kaidah-kaidah para Imam dan diikuti oleh
kelompok Khalaf, maka tidaklah sah bila hal itu dianggap sebagai “bid’ah
madzmumah atau dzalalah (bid’ah jelek atau sesat)”. Begitu juga segala
bentuk prilaku yang tidak dilakukan atau ditinggalkan oleh para Salafuna as Shalih
dengan kerangka pandangan yang jelas maka tidaklah sah pula hal itu
dianggap sebagai tuntunan atau sunnah, dan bukan pula harus dianggap
sebagai perkara yang terpuji.
Para ulama berbeda pendapat dalam
menyikapi persoalan yang tidak termasuk dalam kerangka sunnah, namun
tidak ada dalil yang menentangnya bahkan juga tidak ada kesamaran di
dalamnya. Imam Malik menganggap hal itu sebagai bid’ah, dan Imam Syafi’i
menyatakan hal itu bukanlah bid’ah. Dalam hal ini Imam Syafi’i
berlandaskan pada sebuah hadis:
ما تركته لكم فهو عفو
“Segala sesuatu yang aku tinggalkan karena belas kasihan terhadap kalian semua adalah diampuni”
Syaikh Zaruq berpandangan bahwa
berkaitan dengan mizan (pertimbangan) yang kedua ini, ia mencontohkannya
dengan terjadinya perbedaan pandangan di antara para ulama tentang
hukumnya membuat kepengurusan jamiyyah, membaca dzikir dengan keras, dan melangsungkan doa bersama, karena di dalam hadis terdapat semacam support atau at Targhib di dalam hal ini, sekalipun Salafuna as Shalih tidak melakukannya sehingga dengan hal ini tidaklah setiap orang yang menyepakati hal itu dianggap sebagai pembuat bid’ah
dalam pandangan orang yang berpendapat lain, jika ternyata pendapat
tersebut bertolak belakang dengan dalil-dalil hukum yang di ambil
sebagai hasil ijtihadnya, selagi tidak melampaui batas wilayah yang
diperkenankan baginya.
Dan tidaklah sah pula perkataan
seseorang yang memiliki pendapat berbeda itu dipergunakan untuk
membatalkan pendapat lain yang bertolak belakang karena adanya kesamaran
dalam memproses kesimpulan hukumnya. Bila dalam persoalan ini
dilegalkan segala bentuk upaya pembatalan pendapat orang lain, maka yang
terjadi adalah klaim pembid’ahan terhadap seluruh perilaku umat.
Mizan yang ketiga adalah pertimbangan yang bersifat membedakan yang didasarkan pada beberapa kriteria hukum yang otentik, hal ini akan bersifat tafsili
(detail), atau terperinci. Dengan mizan ini sebuah persoalan akan dapat
diklasifikasikan dalam enam bentuk hukum syari’at yakni wajib, sunnah,
haram, makruh, khilaful aula, dan mubah. Segala bentuk persoalan itu diilhaqkan
(diikutkan/disertakan) dengan dalil tersebut. Jika tidak memiliki dalil
maka dapatlah dikatakan sebagai bid’ah. Melalui mizan ini, banyak dari
hukum yang kemudian mengistilahkan identitas hukum dari sebuah persoalan
tersebut dengan bid’ah wajibah, nadbiyah, tahrimah, karohah, khilafal
aula, dan bid’ah ibadah, tetapi hanya dalam istilah kebahasaan saja
untuk memberikan kemudahan.
Komentar
Posting Komentar